MENAKAR PELUANG GUGATAN HUKUM
TERHADAP AUDITOR:
Belajar
dari Krisis Litigasi Klasik Amerika
Oleh:
Muhajir R. Hakim
(Emerha)
16
919 029
Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta
Abstrak
Permasalahan/tujuan - Artikel
ini membahas tentang kewajiban hukum para auditor dalam kaitannya dengan
pelaksanaan audit laporan keuangan melalui contoh kasus litigasi klasik yang
terjadi di Amerika Serikat. Tujuan dari artikel ini adalah memberi pemahaman dan
pelajaran agar selalu waspada terhadap pengaruh perubahan lingkungan hukum pada
profesi auditor
Pembahasan - Hasil analisis
menyimpulkan bahwa litigasi telah
berdampak signifikan atas profesi auditor dalam rentang waktu hampir setengah
abad di masa lalu dan secara inkremental memperjelas tanggungjawab dan peran
auditor dalam pengembangan dan kemajuan standar auditing. Yang dilakukan oleh
KAP untuk melindungi diri dari tuntutan hukum adalah menjaminkan pekerjaan
auditnya kepada perusahaan asuransi kerugian sehingga apabila terjadi tuntutan
pihak asuransi yang akan melakukan ganti rugi; tidak sembarang menerima klien
dan hanya memilih klien yang berintegritas; mematuhi dan menerapkan standar
auditing dan koda etik; pilih audit staf yang kompoten dan berintegritas;
pertahankan independensi; dan miliki standar pengendalian mutu serta pahami betul
bisnis klien.
Kata Kunci – kewajiban hukum auditor, gugatan hukum, dan litigasi.
I.
Pendahuluan
Kewajiban hukum dapat terjadi kalika seorang auditor memberikan jasa
profesional dalam bentuk apa pun. Pertimbangannya adalah para auditor yang
melakukan audit laporan keuangan terpengaruh dengan kecenderungan lingkungan
hukum terhadap profesi auditor. Sepanjang sejarah Amerika, dapat dicatat bahwa
auditor memiliki persentase yang sangat rendah dalam hal perbandingan kegagalan
audit terhadap jumlah audit yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena banyak
para pengamat hukum berpendapat bahwa banyaknya profesi auditor terjerat dalam
hukum karena para pemakai laporan keuangan kurang memahami perbedaan konsep
kegagalan busines, kegagalan audit, dan risiko audit (Arens, at.al. 2008).
Kegagalan audit menurut Boynton, at.al (2001) mirip dengan kecelakaan
nuklir yang sangat jarang terjadi, namun apabila terjadi dapat menimbulkan
akibat yang luar biasa. Banyak auditor yang tidak pernah mengalami kegagalan
audit sepanjang perjalanan karir mereka, talapi dugaan kegagalan audit
sebenarnya dapat berdampak buruk bagi setiap kantor akuntan. Hal ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya jumlah kasus dan biaya litigasi yang berkaitan
dengan kegagalan audit yang mencapai tingkat yang membahayakan yang disebabkan
oleh banyaknya laporan kegagalan busines yang berakibat pada kerugian
signifikan yang diderita oleh para investor dan pembayar pajak.
Kecenderungan litigasi di Amerika Serikat dimulai pada tahun 1980-an
sampai dengan tahun 1990-an. Krisis yang terjadi ini tidak hanya terbatas pada
prefesi akuntan saja. Boynton dalam bukunya mengatakan bahwa suatu penelitian
yang dilakukan oleh Kelompok Konsultan Hukum dan Ekonomi pada tahun 1993
melaporkan bahwa banyak gugatan class
action tentang kecurangan dalam bidang sekuritas yang diterbitkan tanpa
jaminan. Kasus itu terjadi terhadap 1 (satu) dari setiap 8 (delapan) perusahaan
pada New York Stock Exchange (NYSE), 1 (satu) dari setiap 18 (delapan belas)
perusahaan pada American Exchange, dan 1 (satu) dari setiap 20 (dua puluh)
perusahaan pada NASDAQ.
Terjadinya kasus ini kemudian menjadi bom nuklir bagi profesi auditor.
Misalnya pada akhir tahun 1992, profesi akuntan menghadapi lebih dari 4.000
gugatan dengan estimasi klaim yang belum dapat diselesaikan dengan jumlah yang
cukup fantastis yaitu lebih dari 30 milyar dolar. Pada tahun yang sama juga
kantor akuntan publik terbesar ketujuh saat itu yang bernama Laventhol and
Howarth dinyatakan pailit, akibat besarnya beban kewajiban. Pada tahun 1993
sampai dengan tahun 1995, kos asuransi wajib bagi KAP Big Six, meningkat sampai
sepuluh kali lipat, sementara premi untuk KAP kecil dan menengah meningkat
mulai 200% sampai 300%. Kondisi ini juga diperparah dengan penurunan tajam
jumlah perusahaan asuransi yang
menawarkan kebijakan kewajiban kepada KAP.
Pengalaman pahit di atas kemudian berimplikasi terhadap KAP dalam
berbagai ukuran yang mengundurkan diri dari layanan kepada klien yang memiliki
risiko audit yang tinggi dan banyak juga KAP kecil yang menghentikan
pelaksanaan audit secara serentak. Kejadian ini sungguh sangat bertentangan
dengan tujuan kepentingan publik sehingga mendorong kesadaran masyarakat
melalui Kongres Amerika untuk memperkuat lembaga peradilan dan membuat
perubahan undang-undang di bidang sekuritas.
Oleh karena itu dalam artikel kali ini, penulis akan memberikan gambaran
bagaimana kasus litigasi terjadi dan apa tindakan pembelaan dan pelajaran yang
bisa disimpulkan oleh auditor dari terjadinya kasus dimaksud.
II.
Tinjauan Pustaka
Gugatan hukum auditor terjadi karena adanya kewajiban hukum yang
dilanggar oleh auditor. Boynton, at.al (2001) mengatakan bahwa berdasarkan
aturan hukum Amerika Serikat, paling sedikit terdapat dua kewajiban hukum,
yaitu kewajiban hukum menurut common law
dan kewajiban hukum menurut undang-undang sekuritas. Auditor diwajibkan patuh
terhadap kedua peraturan ini jika mendirikan kantor akuntan di Amerika. Berikut
dijelaskan kewajiban hukum auditor yang berlaku di Amerika Serikat.
2.1. Kewajiban hukum auditor
menurut common law
Common law didefinisikan oleh Boynton, at.al (2001) adalah hukum yang tidak
tertulis berdasarkan keputusan pengadilan dan bukan atas hukum yang dibuat dan
disahkan oleh pihak legislatif. Ini artinya bahwa common law diambil dari prinsip-prinsip berdasarkan keadilan,
alasan, dan hal-hal yang masuk akal yang ditentukan oleh kebutuhan masyarakat dan
bukan diambil dari hukum yang absolut, tetap, dan kaku. Dalam kasus common law, hakim memilki fleksibilitas
untuk mempertimbangkan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik maupun
yurisprudensi yang pernah ada. Terkait dengan jasa para akuntan publik, dalam
kasus-kasus yang spesifik di Amerika Serikat, kewajiban seorang auditor akan
ditentukan oleh putusan pengadilan negara bagian atau federal yang mendorong
untuk diterapkannya yurisprudensi yang dirasakan mampu mengendalikan. Oleh
karena itu menurut Boynton, berdasarkan common
law, kewajiban seorang auditor ada 2 yaitu kewajiban kepada klien dan
kewajiban kepada pihak kaliga.
Masih menurut Boynton, at.al
(2001), tanggungjawab hukum kepada klien adalah tanggungjawab bahwa seorang
auditor berada dalam hubungan kontraktual dengan menyetujui untuk melaksanakan
jasa untuk klien. Tanggungjawab hukum kepada klien terbagi dua yaitu
tanggungjawab hukum kontrak (contract law)
dan tanggungjawab hukum kerugian (tort
law). Contract law adalah
tanggungjawab hukum auditor kepada klien akibat kelalaian auditor.
Tanggungjawab hukum auditor terhadap klien akibat kelalaian terjadi apabila
auditor 1) menerbitkan laporan audit tanpa melakukan audit terlebih dahulu
sesuai dengan standar audit; 2) tidak mengirimkan laporan audit sesuai dengan batas
waktu yang telah disepakati; 3) melanggar rahasia klien. Atas pelanggaran ini,
maka auditor harus bertanggungjawab kepada klien sesuai dengan hukum kontrak
yaitu dengan cara melaksanakan hak dan kewajiban yang diatur atau sesuai dengan
isi kontrak. Sedangkan Tort law
adalah tanggungjawab hukum auditor kepada klien akibat tindakan auditor yang
merugikan klien. Tanggungjawab hukum auditor terhadap klien akibat kerugian
terjadi apabila auditor: 1) melakukan kesalahan ringan (ordinary negligence), yaitu kesalahan yang terjadi secara manusiawi
atau tidak disengaja; 2) melakukan kesalahan sedang (gross negligence), yaitu kesalahan yang harusnya tidak terjadi jika
auditor menerapkan due professional care;
3) melakukan kesalahan berat/kecurangan (fraud),
yaitu auditor terlibat secara langsung atau tidak langsung membantu kecurangan
yang dilakukan manajemen. Atas pelanggaran ini, maka auditor harus
bertanggungjawab kepada klien sesuai dengan hukum kerugian yaitu dengan cara
mengganti rugi atau bisa dituntut di pengadilan.
Boynton at.al (2001) kembali mendefinisikan, tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga adalah tanggungjawab bahwa seorang auditor bertanggungjawab kepada
semua pihak ketiga atas kelalaian dan kecurangan menurut hukum kerugian.
Tanggungjawab ini terbagi dua yaitu tanggungjawab kepada pemegang hak utama (primary beneficiary) dan tanggungjawab
kepada pemegang hak lainnya (other
beneficiaries). Pemegang hak utama adalah seseorang yang akan menerima
laporan auditor dan namanya telah disebutkan oleh klien sebelum audit
dilaksanakan. Misalnya pihak bank untuk mendapatkan pinjaman. Pemegang hak
lainnya adalah seseorang yang akan menerima laporan auditor tapi namanya tidak
disebutkan sama sekali oleh klien. Misalnya kreditur, pemegang saham dan
investor. Tanggungjawab auditor kepada pihak ketiga terjadi apabila laporan
auditor telah digunakan oleh pihak ketiga dalam bisnisnya tapi ternyata laporan
tersebut mengandung salah saji sehingga merugikan pihak ketiga. Jika hal itu
terjadi maka auditor harus bertanggungjawab dalam bentuk tuntutan hukum di
pengadilan.
2.2. Kewajiban hukum auditor
menurut undang-undang sekuritas
Menurut Boynton, al.al (2001), undang-undang sekuritas merupakan hukum
negara yang ditetapkan oleh lembaga legislatif pada tingkat negara bagian atau
tingkat federal yang biasanya mewajibkan pengarsipan laporan keuangan yang
telah diaudit oleh suatu badan pengatur yang ditunjuk. Undang-undang sekuritas
yang sangat mempengaruhi pekerjaan auditor adalah undang-undang sekuritas tahun
1933 (securities act 1933) dan
undang-undang perdagangan sekuritas tahun 1934 (securities exchange act 1934).
Securities act 1933 mewajibkan setiap entitas untuk melampirkan laporan keuangan yang
telah diaudit dalam laporan pendaftaran yang akan disimpan oleh SEC pada saat
entitas tersebut pertama kali menawarkan sahamnya ke publik. Dalam aturan
tersebut dijelaskan bahwa setiap pihak yang membeli sekuritas seperti yang
tertera dalam dokumen pendaftaran (prospektus) bisa menggugat auditor atas
adanya salah saji yang material atau penghilangan angka dalam laporan keuangan
yang telah diaudit yang dilampirkan dalam laporan pendaftaran tanpa memandang
apakah pihak tersebut menjadi klien auditor atau tidak.
Securities exchange act 1934 mewajibkan setiap perusahaan publik dengan nilai aset di atas 5 juta
dolar dan memiliki lebih dari 500 pemegang saham, untuk mengarsipkan laporan
tahunannya termasuk laporan keuangan yang telah diaudit kepada SEC. Dalam aturan tersebut setiap orang dilarang
memberikan laporan yang tidak benar atau menyesatkan, menggunakan alat, skema,
atau tipu daya untuk menggelapkan dalam dokumen yang diarsipkan pada SEC.
Terdapat dua perbedaan penting dari kedua undang-undang di atas, yaitu
ditinjau dari sisi penerapannya dan subtansi aturannya. Dari sisi penerapannya,
securities act 1933 diterapkan pada
penjualan perdana sekuritas yang dapat terdiri dari modal saham dan obligasi
kepada publik oleh korporasi penerbit. Sedangkan securities exchange act 1934 diterapkan pada penjualan perdana dan
perdagangan sekuritas di bursa sekuritas nasional. Dari sisi subtansi aturannya
bisa dilihat dari siapa penggugat, tergugat, dan apa kewajibannya. Dalam securities act 1933, penggugatnya adalah
setiap orang yang menerima sekuritas, penggugatnya tidak harus membuktikan
adanya ketergantungan pada keandalan, dan tergugat bertanggungjawab atas
kelalaian biasa. Sementara dalam securities
exchange act 1934, penggugatnya adalah pembeli atau penjual sekuritas,
penggugatnya harus membuktikan adanya ketergantungan pada keandalan, dan
tergugat tidak bertanggungjawab atas kelalaian biasa.
III.
Pembahasan
3.1.
Contoh Kasus
Litigasi Klasik Amerika
Dari sekian banyak contoh kasus litigasi yang dikemukakan
oleh Boynton, at.al (2001), penulis membatasi jumlah kasus litigasi dengan mengambil
masing-masing 2 contoh kasus terpilih untuk disajikan kembali yang menurut
penulis relevan dengan penjelasan tinjauan pustaka di atas. Semua kasus dikutip
penuh dari Boynton, al.al (2001) dan contoh kasus yang disajikan merupakan
ringkasan dan poin-poin penting saja.
3.1.1. Kasus Litigasi menurut Undang-undang Common Law
1.
Rhode Island
Hospital Trust National Bank melawan Swartz, Bresenhoff, Yavner & Jacobs
(1972)
Para
auditor sebagai pihak tergugat dalam kasus ini telah menerbitkan opini tidak
memberikan pendapat (disclaimer of
opinion) atas laporan keuangan yang diaudit. Bank yang menjadi penggugat
adalah pihak yang telah diketahui sebelumnya, namun tidak disebutkan namanya
secara spesifik. Dalam gugatan dikatakan bahwa auditor bersalah atas kesalahan
biasa karena alasan tidak memberikan pendapat dalam laporan auditor yang
mengandung susunan kata yang menyesatkan.
Auditor
menerbitkan oponi disclaimer dengan alasan
bahwa penambahan aset tetap telah ditemukan untuk memasukkan biaya perbaikan
gudang. Secara praktis, semua pekerjaan ini dikerjakan sendiri oleh para
pekerja. Namun sayangnya tidak ditemukan adanya catatan rincian biaya yang
lengkap dan penerapan yang pasti tentang berapa besar biaya yang sebenarnya
yang dikeluarkan dari peningkatan tersebut.
Pada
akhirnya pengadilan memutuskan bahwa perusahaan tidak memiliki catatan biaya
dan pengeluaran untuk barang modal tenyata fiktif. Oleh karena itu opini tidak
menyatakan pendapat hanya mengacu pada penilaian dan bukannya keberadaaan atau
eksistensi, maka pengadilan menyatakan bahwa opini disclaimer tidak dapat membebaskan auditor dari kewajiban yang
muncul dari pengaruh yang disampaikan oleh pernyataan yang lain dalam laporan
auditor.
2.
Credit Alliance
Corporation melawan Arthur Andersen & Co. (1985)
Penggugat adalah perusahaan jasa keuangan besar yang
terutama bergerak dalam bidang pembiayaan untuk pembelian peralatan modal
melalui penjualan cicilan atau perjanjian sewaguna. Penggugat memberikan kredit
tambahan kepada L.B. Smith Inc., berdasarkan laporan audit yang dilakukan oleh
Andersen dengan pendapat WTP atas laporan keuangan Smith untuk perioda 3 tahun
yang berakhir pada tanggap 27 Februari 1979. Pada tahun 1980, Smith dinyatakan
pailit setelah tidak dapat menyelesaikan kewajiban senilai beberapa juta dolar
kepada penggugat. Penggugat mengatakan bahwa laporan keuangan Smith yang
diandalkannya ternyata mengandung lebih saji atau penggelembungan nilai aset,
kekayaan bersih, serta kesehatan keuangan pada umumnya. Hal ini dapat terjadi
karena auditor tidak memenuhi standar auditing yang benar, sehingga tidak dapat
menemukan adanya kemungkinan serius bahwa Smith tidak mampu mempertahankan
kelangsungan usahanya.
Andersen kemudian digugat atas kelalaian dan kecurangan
dan tergugat dinyatakan 1) mengetahui atau sepatutnya mengetahui serta menaruh
perhatian bahwa laporan keuangan akan diguanakan oleh Smith untuk mendapatkan
kredit tambahan, 2) mengetahui bahwa laporan keuangan tersebut akan ditunjukkan
kepada penggugat dengan maksud seperti tersebut di atas, dan 3) mengetahui atau
secara ceroboh mengabaikan fakta yang memberikan indikasi bahwa laporan tahun
1977 dan 1979 ternyata menyesatkan.
Mahkamah Agung New York menolak gugatan atas kelalaian
ini. Intinya Mahkamah Agung memutuskan bahwa tidak terdapat hubungan
kontraktual pribadi antara penggugat dan tergugat dan juga tidak ada hubungan
yang dipandang cukup akrab yang dapat disamakan dengan hubungan pribadi. Mahkamah
juga menolak gugatan kecurangan dengan menyatakan bahwa dugaan tunggal tentang scienter, secara ceroboh mengabaikan
fakta tidaklah cukup untuk digunakan sebagai dasar menghukum tergugat.
3.1.2. Kasus Litigasi menurut Undang-undang Sekuritas
1.
Pemerintah Amerika
Serikat melawan Simon (1969)
Kasus ini dikenal sebagai kasus continental vending, yang melibatkan sejumlah pinjaman yang
dilakukan oleh Continental Vending untuk perusahaan afiliasinya yang bernama
Valley Commercial Corporation, yang selanjutnya meminjamkan uang tersebut
kepada Roth, direktur utama Continental. Pinjaman kepada Roth dijamin terutama
dengan saham biasa Continental yang dimiliki Roth. Selanjutnya Valley
menggunakan saham-saham ini sebagai jaminan atas pinjaman dari Continental.
Auditor Continental tidak pernah mengaudit Valley. Para tergugat yang terdiri
dari seorang mitra senior, seorang mitra yunior, serta seorang auditor senior
dari suatu KAP yang berkelas internasional telah memberikan persetujuannya atas
catatan bahwa jumlah piutang dari Valley telah dibebani bunga sebesar 12% per
tahun salelah dikurangi saldo utang kepada perusahaan dan dijamin dengan
ekuitas Valley dengan persalujuan pada harga pasar sekuritas. Namun pada 15 Februari
1963, jumlah harga pasar ekuitas tersebut telah melampaui jumlah bersih nilai
piutang.
Secara khusus pemerintah AS menggugat bahwa catatan
tergugat adalah tidak benar dan menyesatkan karena 1) catatan kaki pada laporan
Continental tidak menunjukkan bahwa Roth mendapatkan uang itu, 2) sifat
penjaminan tidak diungkapkan meskipun 80% di antaranya terdiri sekuritas tidak
terdaftar yang diterbitkan oleh Continental, 3) jumlah piutang bersih yang
dimiliki Valley ternyata tidak benar karena pada penyajian hutang Valley yang
dikompensasikan terdapat sejumlah diskon untuk pihak luar, serta 4) referensi
pada posisi jaminan dalam bulan Februari tidak mengungkapkan piutang Valley
yang sebenarnya pada tanggal itu.
Tergugat dengan dukungan kesaksian dari 8 pimpinan
profesi akuntan, berpendapat bahwa catatan tersebut sesuai denga GAAP dan bahwa
kepatuhan tersebut merupakan bentuk pembelaan yang menentukan terhadap gugatan
kejahatan salah penyajian. Namun hakim yang memeriksa perkara menolak
argumentasi tersebut dan meragukan posisi wajar dalam penyajian laporan
keuangan. Para juri menyimpulkan bahwa neraca tidak menyajikan secara wajar,
dan tiga tergugat dikenakan tuduhan tindak pidana kejahatan. Pengadilan banding
AS menolak untuk mengubah putusan tersebut dan menyatakan bahwa para tergugat
dinyatakan bersalah dan dikenakan denda sebesar $17.000 serta pencabutan izin
praktik.
2.
The Fund of Funds
Limited melawan Arthur Andersen & Co (1982)
The Fund of Funds Limited (FOF) adalah sebuah perusahaan
pendanaan investasi bersama yang mengasakan kontrak lisan sebagai bagian dari
program diversifikasi untuk membeli sejumlah asal dari King Resources
Corporation (KRC) pada tingkat bunga tidak kurang dari harga yang diterima
penjual dari pelanggan lainnya. Arthur Andersen (AA) menjadi auditor untuk
kedua perusahaan tersebut, dan beberapa personil kuncinya berpartisipasi pada
kedua perikatan.
Dalam surat perikatan kepada FOF, AA menyatakan bahwa setiap
penyimpangan yang ditemukan oleh KAPnya akan diungkapkan kepada klien. Pada
saat mengaudit KRC, AA menemukan bahwa FOF telah dibebani dengan harga yang
secara signifikan jauh lebih tinggi dibanding pelanggan lainnya. Namun AA
tindak mengungkapkan hal ini kepada FOF karena AA tidak ingin melanggar
peraturan informasi rahasia klien. Penggugat mengatakan bahwa seharusnya AA
mengungkapkan adanya pembebanan lebih tersebut atau setidaknya mengundurkan
diri dari salah satu perikatan tersebut.
Dalam laporan keuangannya per 31 Desember 1969, FOF
membukukan peningkatan penilaian kembali yang signifikan pada penyertaan sumber
daya alam tertentu. Penilaian ini didasarkan pada transaksi nonarms’s length dari penjualan nonbona fide atas sebagian kecil
penyertaan yang sama oleh KRC. Sesuai dengan pedoman yang digunakan, sebenarnya
AA tidak dapat memberikan pendapat WTP atas laporan keuangan KRC dengan adanya
penjualan ini. Meskipun demikian, AA tetap memberikan pendapat tersebut. AA menyatakan
bahwa laporan mereka atas KRC tidak menjadi penyebab penilaian kembali FOF dan
bahwa mereka tidak mengetahui adanya penjualan nonbona fide tersebut sebelum laporan diterbitkan.
Para juri berpendapat bahwa AA bertanggungjawab karena
ikut membantu dan bersekongkol dalam pelanggaran hukum dan kecurangan karena
tidak mau mengungkapkan pengalahuan mereka atas kesalahan KRC terhadap FOF.
Selain itu para juri juga menyatakan bahwa AA bersalah atas pelanggaran kontrak
karena mereka tidak mematuhi apa yang mereka nyatakan secara spesifik dalam
surat perikatan kepada FOF. Penggugat mendapatkan ganti rugi sebesar $81 juta.
Dalam kasus ini hakim selanjutnya menurunkan nilai kerugian tersebut sampai
jumlah yang tidak diungkapkan.
3.2.
Bagaimana potensi
gugatan dan pembelaan auditor, serta meminimalkan risiko litigasi?
Dari sisi peraturan common
law, potensi gugatan dan pembelaan auditor pada umumnya harus menggunakan
kecermatan sebagai pembelaan dalam gugatan pelanggaran kontrak termasuk
tuntutan ganti rugi atas kelalaian. Dalam hal tuntutan ganti rugi pembelaan
utama adalah bukti kecermatan atau kelalaian kontributif. Saat auditor tidak
memiliki kecermatan, maka di situlah potensi gugatan akan terjadi. Tetapi
apabila menggunakan pembelaan berdasarkan kecermatan, auditor harus berusaha
membuktikan bahwa audit tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan GAAS. Kertas
kerja auditor merupakan alat bukti yang penting dalam pembelaan. Selain itu
auditor harus dapat meyakinkan sidang pengadilan bahwa pada dasarnya dalam
proses audit terdapat batasan-batasan yang bersifat melekat. Dengan demikian,
karena digunakan teknik pengujian selektif, maka terdapat risiko bahwa
kesalahan yang material atau penyimpanagan yang ada, dapat saja tidak terdaleksi.
Sebagaimana profesi yang lain, seperti dokter dan
pengacara, sekarang ini para auditor juga menjalankan praktiknya dalam iklim
kebijakan publik nasional yang sedang menekankan pada pentingnya perlindungan
bagi konsumen. Dari hasil analisis atas beberapa kasus pengadilan yang
melihatkan auditor, Boynton al.al.2001, mengemukakan sejumlah cara yang harus
dilakukan oleh auditor untuk meminimalkan risiko terjerat dalam litigasi,
yaitu:
a) Menggunakan surat
perikatan untuk semua jenis jasa profesional, yaitu menyediakan surat-surat
yang akan menjadi dasar persetujuan kontraktual serta meminimalkan risiko
kesalahpahaman tentang jasa yang telah disepakati.
b) Melakukan
investigasi yang menyeluruh atas klien, yaitu investigasi untuk meminimalkan
kemungkinan auditor dikaitkan dengan klien yang manajemennya tidak
berintegritas.
c) Lebih menekankan
mutu jasa daripada pertumbuhan, yaitu kemampuan sebuah KAP untuk memilih staf
dengan tepat pada suatu perikatan yang penting bagi mutu pekerjaan yang akan
dihasilkan. Penerimaan tugas dengan objek usaha baru yang akan menimbulkan
perlunya kerja lembur yang berlebihan, beban kerja di atas nommal, serta
kurangnya supervisi dari profesional yang berpengalaman sebaiknya ditolak.
d) Mematuhi
sepenuhnya ketentuan profesional, yaitu kepatuhan pada standar audit yang harus
mampu memberikan alasan terjadinya setiap penyimpangan dari pedoman yang telah
ditetapkan.
e) Mengakui katerbatasan
ketentuan profesional, yaitu adanya pedoman profesional yang tidak dapat
mencakupi semua pekerjaan auditor. Selain itu, pengujian subjektif atas
kelayakan dan kewajaran akan digunakan oleh para hakim, juri, dan pejabat
pemerintah dalam menimbang pekerjaan auditor. Oleh karena itu auditor harus
menggunakan pertimbangan profesional yang mantap selama audit berlangsung dan
dalam penerbitan laporannya.
f) Menetapkan dan
menjaga standar yang tinggi atas pengendalian mutu, yaitu auditor secara
pribadi harus bertanggungjawab atas pengendalian mutu dengan melakukan peer review yang akan memberikan
keyakinan independen tentang mutu dan efektivitas prosedur yang telah
dirumuskan.
g) Memperhatikan
tindak pencegahan dalam perikatan tentang keterlibatan klien dalam kesulitan
keuangan, yaitu ancaman atas keadaan klien yang tidak solven atau kepailitan
yang dapat mengarah pada kesengajaan salah saji dalam laporan keuangan. Banyak
gugatan hukum yang dilancarkan terhadap auditor berawal dari kepailitan
perusahaan yang terjadi salelah terbitnya laporan auditor. Oleh karena itu
auditor harus menimbang dengan cermat kecukupan dan kompetensi bukti yang
diperoleh ketika mengaudit perusahaan tersebut.
h) Mewaspadai risiko
audit, yaitu risiko yang mengandung informasi penting tentang perkembangan
ekonomi dan kebijakan dalam industri tertentu yang dapat mempengaruhi
pemeriksaan auditor dan pertimbangan profesional. Mengenali risiko audit yang
harus diwaspadai akan sangat membantu dalam menilai kelayakan dan kewajaran
laporan keuangan klien dalam industri tertentu.
IV.
Simpulan
Dari pembahasan
tersebut di atas, dapatlah disimpulkan dan diambil beberapa pelajaran yang bisa
kita jadikan pedoman di masa mendatang bahwa:
1.
Litigasi telah
berdampak signifikan atas profesi auditor dalam rentang waktu hampir setengah
abad di masa lalu dan secara inkremental memperjelas tanggungjawab dan peran
auditor dalam pengembangan dan kemajuan standar auditing.
2.
Yang
dilakukan oleh KAP untuk melindungi diri dari tuntutan hukum adalah menjaminkan pekerjaan auditnya kepada
perusahaan asuransi kerugian sehingga apabila terjadi tuntutan pihak asuransi
yang akan melakukan ganti rugi; tidak
sembarang menerima klien dan hanya memilih klien yang berintegritas; mematuhi dan menerapkan standar auditing
dan kodq etik; pilih audit staf yang kompoten dan
berintegritas; pertahankan
independensi; dan miliki standar pengendalian mutu dan pahami betul bisnis klien.
Referensi
Arens,
Alvin A., Elder, Randal J., Beasley, Mark S. (2008). Audting
and Assurance Service, Integrated Approach. (12thed).
Prentice Hall : Pearson Education, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar